BệBASBaru.com, KISAH TOKOH – Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terkenal sellau goyun, tak peduli pejabat penting dunia atau tokoh penting sekalipun, apalagi sesama nahdiyin, Gus Dur pasti bercanda dan membuat kita tertawa, namun kadang memiliki filosofis yang menadalam.
Dalam sebuah kesempatan berkunjung ke Clayton, Melbourne, Australia, tepatnya kediaman intelektual muda Fachry Ali, almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berbagi cerita. Peristiwa ini terjadi pertengahan 1991 sebagaimana dikisahkan di status Facebook Bang Fahcry.
Dikutip bebasbaru.com dari hops.ID, Selasa (12/04/2022), pada sebuah malam, dikutip dari lama NU Online, Gus Dur berselonjor kaki di atas karpet. Diskusi kala itu sudah selesai. Dan keisengan selalu menggoda dalam waktu seperti itu.
Maka berceritalah Kiai Abdurrahman Wahid tentang seorang kiai sepuh di sebuah pesantren antah berantah. Entah berkat apa, kiai ini meminang santriwati yang tentu saja muridnya.
Pinangan tersebut disambut baik orang tua santriwati. Maka, malam pasca nikah, sebagai suami, kiai sepuh tersebut harus melaksanakan ‘kewajiban’-nya —ba’da Isya dan, mungkin, disambung wirid seperlunya.
Ketika ‘kewajiban’ tersebut hendak dieksekusi, santriwati yang kini absah menjadi istrinya, menolak serta merta. Telah sepuh, tentu sang kiai cukup bijak dan bersabar. Walau kian larut, sang kiai dengan lembut memberikan ‘ceramah’ tentang kewajiban suami-istri menurut pandangan agama.
Tetapi, ‘ceramah’ tersebut tidak mempan. Sedikit kehilangan kesabaran, kiai tersebut menggunakan ‘senjata pamungkas’. Kepada istrinya yang masih remaja itu, sang kiai mengatakan:
“Kalau dinda (ce’ile) mau melaksanakan kewajiban sebagai istri malam ini, pahalanya sama dengan membunuh 100 orang kafir.” (Malam itu, kiai ‘menyediakan’ 300 orang kafir saja).
Mendengar itu, santriwati yang telah menjadi istrinya tersebut tertarik dan bergairah. Maka ia berseru: "Ayo kita bunuh orang kafir," cetusnya bersemangat.
Dalam hati, kiai berkata: “Ini yang aku tunggu.” Maka, sang kiai berhasil melaksanakan kewajibannya.
Artikel Terkait
KISAH AMIRUL MU’MININ UMAR BIN ABDUL AZIZ (Bagian 19)
KISAH AMIRUL MU’MININ UMAR BIN ABDUL AZIZ (Bagian 20)
KISAH AMIRUL MU’MININ UMAR BIN ABDUL AZIZ (Bagian 21)
Jargon Pangeran Antasari yang Satukan Suku Dayak-Banjar: “Jangan Bacakut Papadaan, Haram Manyarah Waja Sampai Ka Puting”
KISAH AMIRUL MU’MININ UMAR BIN ABDUL AZIZ (Bagian 22)